Selasa, 17 Juli 2012

KURIKULUM PENDIDIKAN ISLAM



1.      Kurikulum dikatakan sebagai “the heart/core of education” (jantung pendidikan) karena corak dan arah pendidikan bisa dilihat dengan kurikulum tersebut. Bahkan kurikulum menentukan berhasil tidaknya tujuan dari pendidikan. Dengan berdasarkan kurikulum sebagai acuan pelaksanaan kegiatan dalam sebuah lembaga pendidikan maka proses pendidikan akan berjalan sesuai kurikulum tersebut. Kemudian peranan guru dalam pengembangan kurikulum adalah guru sebagai penjabar atau penjelas dan pelaksana dalam pembelajaran baik dalam hal isi, metode maupun evaluasi. Guru berperan sebagai penyampai informasi atau sebagai model dan ahli dalam disiplin ilmu. Jika dikaitkan dengan kurikulum KTSP, maka peran guru adalah memahami KTSP dan melaksanakannya, menganalisis SK/KD dan komponen silabus maupun RPP, menyusun prota dan promes, mengembangkan visi dan misi.
2.      Ada beberapa pendekatan dalam kurikulum, diantaranya adalah
a.       Pendekatan subyek akademis
Dalam menyusun kurikulum maka didasarkan pada sistematisasi disiplin ilmu masing-masing dan dilakukan dengan cara menetapkan lebih dahulu mata pelajaran/mata kuliah apa yang harus dipelajari peserta didik, yang diperlukan untuk (persiapan) pengembangan disiplin ilmu. Akan tetapi dalam pengembangannya harus memperhatikan kaitan antara aspek disiplim ilmu satu dengan yang lainnya.
b.      Pendekatan humanistis
Pendekatan ini berawal dari ide memanusiakan manusia yang berarti usaha memberi kesempatan kepada peserta didik untuk mengembangkan alat-alat potensialnya seoptimal mungkin untuk dapat difungsikan sebagai sarana bagi pemecahan masalah-masalah hidup dan kehidupan, pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta budaya manusia, dan pengembangan sikap iman dan takwa kepada Allah swt. Selain itu, pengertian memanusiakan manusia dalam perspektif pendidikan Islam berarti:
1)      Usaha memberi kesempatan kepada peserta didik untuk mengembangkan alat-alat potensial dan berbagai potensi dasar atau fitrahnya seoptimal mungkin untuk dapat difungsikan sebagai sarana bagi pemecahan masalah-masalah hidup dan kehidupan, pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta budaya manusia, dan pengembangan sikap iman dan takwa kepada Allah swt.
2)      Menumbuh kembangkan sebagian sifat-sifat ketuhanan (potensi/fitrah) itu secara terpadu dan diaktualkan dalam kehidupan sehari-hari, baik dalam kehidupan individu maupun sosialnya.
3)      Membimbing dan mengarahkan manusia agar mampu mengemban amanah dari Allah, yaitu menjalankan tugas-tugas hidupnya di muka bumi, baik sebagai ‘adullah (hamba Allah yang harus tunduk dan taat terhadap segala aturan dan kehendakNya serta mengabdi hanya kepadaNya) maupun sebagai khalifah Allah di muka bumi, yang menyangkut pelaksanaan tugas kekhalifahan, baik terhadap diri sendiri, dalam keluarga/rumah tangga, masyarakat, maupun tugas kekhalifahan terhadap alam.
c.       Pendekatan teknologis
Pendekatan ini dalam menyusun kurikulum atau program pendidikan bertolak dari analisis kompetensi yang dibutuhkan untuk melaksanakan tugas-tugas tertentu. Materi yang diajarkan, kriteria evaluasi sukses, dan strategi belajarnya ditetapkan sesuai dengan analisis tugas (job analysis) tersebut. 
d.      Pendekatan rekonstruksi sosial
Pendekatan rekonstruksi sosial dalam menyusun kurikulum atau program pendidikan keahlian bertolak dari problem yang dihadapi dalam masyarakat, untuk selanjutnya dengan memerankan ilmu-ilmu dan teknologi, serta bekerja secara kooperatif dan kolaboratif, akan dicarikan upaya pemecahannya menuju pembentukan masyarakat yang lebih baik. Pendekatan ini selain menekankan isi pembelajaran atau pendidikan juga sekaligus menekankan pada proses pendidikan dan pengalaman belajar. Pendekatan ini juga berasumsi bahwa manusia adalah sebagai makhluk sosial yang dalam kehidupannya selalu membutuhkan manusia lain, selalu hidup besama, berinteraksi dan bekerjasama. Melalui kehidupan bersama dan kerjasama itulah manusia dapat hidup dan memecahkan berbagai masalah yang dihadapi. Tugas pendidikan terutama membantu agar peserta didik menjadi cakap dan selanjutnya mampu ikut bertanggungjawab terhadap pengembangan masyarakat.
Dari keempat pendekatan tersebut, kami akan menjelaskan 2 pendekatan yaitu: pendekatan subyek akademis dan pendekatan humanistis untuk mengembangkan kurikulum pendidikan agama Islam.
a.       Pengembangan kurikulum pendidikan agama Islam melalui pendekatan subyek akademis dilakukan dengan berdasarkan sistematisasi disiplin ilmu. Misalnya, untuk aspek keimanan atau mata pelajaran akidah menggunakan sistematisasi ilmu tauhid, aspek/mata pelajaran al-Qur’an menggunakan sistematisasi ilmu al-Qur’an atau ilmu tafsir, akhlak menggunakan sistematisasi ilmu akhlak, ibadah/syari’ah/muamalah menggunakan sistematisasi ilmu fiqih, dan tarikh/sejarah menggunakan sistematisasi ilmu sejarah (kebudayaan) Islam. Masing-masing aspek/mata pelajaran tersebut memiliki karakteristik tersendiri, yang dapat dipergunakan untuk pengembangan disiplin ilmu lebih lanjut bagi para peserta didik yang memiliki minat di bidangnya. Namun, demikian dalam pembiaannya harus memperhatikan kaitan antara aspek/mata pelajaran yang satu dengan yang lainnya.
b.      Pengembangan kurikulum pendidikan agama Islam melalui pendekatan humanistis dilakukan oleh guru/dosen dengan melibatkan peserta didik, misalnya dalam penentuan tujuan dan pemilihan tema-tema pembelajaran PAI. Isi dan proses pembelajarannya bersifat dinamis (berubah) sesuai minat, kebutuhan dan kontekstual. Pengembangan kurikulum PAI dengan pendekatan ini lebih cocok diterapkan dalam mengamalkan nilai-nilai akidah dan akhlak Islam serta problem-problem yang aktual di masyarakat.   
3.      Ada beberapa kritik yang ditujukan kepada PAI di sekolah umum.
a.       Penjelasan kritik tersebut telah disebutkan beberapa ahli yaitu:
1)      Menurut Mochtar Buchori menilai pendidikan Islam masih gagal. Hal ini disebabkan karena praktiknya hanya memperhatikan aspek kognitif semata dari pertumbuhan kesadaran nilai-nilai (agama), dan mengabaikan pembinaan aspek afektif dan konotatif-volitif, yakni kemauan dan tekad untuk mengamalkan nilai-nilai ajaran agama. Yang pada akhirnya pendidikan agama menjadi pengajaran agama. 
2)      Menteri agama RI, Muhammad Mahtuh Basyuni menyatakan bahwa pendidikan agama yang berlangsung saat ini cenderung lebih mengedepankan aspek kognisi (pemikiran) daripada afeksi (rasa) dan psikomotorik (tingkah laku).
3)      Menurut Komaruddin Hidayat, pendidikan agama lebih berorientasi pada belajar tentang agama, sehingga hasilnya banyak orang yang mengetahui nilai-nilai ajaran agama, tetapi perilakunya tidak relevan dengan nilai-nilai agama yang diketahuinya.
4)      Menurut Amin Abdullah, pendidikan agama lebih banyak terkonsentrasi pada persoalan-persoalan teoritis keagamaan yang bersifat kognitif, dan kurang concern terhadap persoalan bagaimana mengubah pengetahuan agama yang kognitif menjadi makna dan nilai yang perlu diinternalisasikan dalam diri peserta didik lewat berbagai cara, media, dan forum.
5)      Menurut Soejatmoko, pendidikan agama harus berusaha berintegrasi dan bersinkronisasi dengan pendidikan non-agama dan masih banyak lagi pendapat lainnya.
b.      Jika saya diminta untuk menjadi konsultan terhadap kritik di atas, maka saya akan memberikan beberapa saran untuk:
1)      Kepala sekolah adalah (1) meninjau kembali praktek pengajaran pendidikan agama Islam dalam lembaga tersebut, (2) Mencoba memadukan kurikulum pendidikan agama dengan pendidikan non-agama yang dipelopori oleh kepala sekolah, (3) memberikan waktu tambahan terhadap pelajaran agama Islam agar nilai dan hakekat pendidikan Islam dapat terserap secara optimal, (4) karena kita menjalankan KTSP maka kita arahkan kompetensinya kea rah pendidikan agama yang akan menjadi landasan dasar dari mata pelajaran lainnya.
2)      Untuk para guru di sekolah adalah (1) bekerjasa dengan guru non agama untuk sama-sama berusaha mengajarkan pendidikan moral yang merupakan bagian dari pendidikan agama, (2) dalam pengembangan diri akan kita tekankan pada pembinaan nilai-nilai pendidikan agama Islam, (3) memberikan metode yang sesuai agar pendidikan Islam berjalan untuk mencapai tujuan baik secara kognitif, afektif maupun psikomotorik.
4.      Pengembangan diri merupakan suatu kegiatan di luar jam pelajaran/regular yang berupa kegiatan ekstrakurikuler berupa pramuka, olahraga, PMR, seni musik, seni tari dan lainnya. Biasanya untuk mengikuti pengembangan diri ini, di sekolah atau madrasah telah ada seorang guru bimbingan konseling yang dapat membantu peserta didik memahami potensi, minat dan bakat yang sesuai dengan kegiatan pengembangan diri tersebut. Jikan pendidikan agama Islam diiplementasikan melalui kegiatan pengembangan diri, maka hal yang bisa dilakukan adalah: memberikan kegiatan pengembangan diri yang bersifat islami yang dapat menerapkan nilai-nilai Islam secara praktis. Misalnya saja, qira’ah, membaca Kitab Kuning, qasidahan, kaligrafi, dakwah dan sebagainya. Kegiatan-kegiatan tersebut merupakan kegiatan aplikasi dari pendidikan agama Islam.  
5.      Memang kita ketahui bahwa pendidikan agama Islam di sekolah hanya diberi alokasi waktu 2 jam pelajaran. Untuk menciptakan budaya religius di sekolah, maka diawali dengan membuat desain kurikulumnya terlebih dahulu. Tahap ini meliputi: perencanaan kurikulum yang akan menjadi acuan yang meliputi: pembelajaran PAI yang lebih menekankan pada penerapan nilai religius dan hal ini sesuai dengan pancasila sila pertama yaitu “Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Tahap selanjutnya adalah pelaksanaan budaya religius. Sebenarnya penciptaan budaya religius berarti menciptakan suasana atau iklim kehidupan keagamaan. Dalam konteks pendidikan, maka budaya religius memiliki dua sifat yaitu: secara vertikal dan horizontal. Secara vertical akan terlihat ketika melaksanakan kegiatan sholat berjamaah, puasa senin kamis, berdoa setiap sebelum/sesudah kegiatan, loyalitas, komitmen. Secara horizontal dilihat ketika hubungan antara atasan dan bawahan, hubungan professional, hubungan kerjasama dengan teman sejawat. Dengan penjelasan di atas, maka untuk melaksanakan budaya religius harus dibangun secara bersama-sama oleh seluruh warga dari sebuah lembaga pendidikan.
      Tahap evaluasi adalah kita menilai setiap program atau tahapan yang akan/sudah dilaksanakan. Jika ditemukan hal-hal yang menjadi hambatan atau permasalahan, maka diadakan evaluasi untuk memecahkan permasalahan tersebut.
6.      Muatan lokal adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai isi dan bahan pelajaran yang ditetapkan oleh daerah sesuai dengan keadaan dan kebutuhan daerah masing-masing serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelanggaraan kegiatan belajar mengajar. Kurikulum muatan lokal merupakan upaya penyelenggaraan pendidikan yang mana isinya disesuaikan dengan keadaan, potensi dan kebutuhan daerah setempat. Pelaksanaannya dimaksudkan untuk mempertahankan kelestarian kebudayaan daerah, usaha pembaharuan serta untuk mengembangkan sumber daya manusia yang ada di daerah itu sehingga dapat dimanfaatkan untuk kepentingan pembangunan daerah.
Sedangkan pengembangan diri merupakan kegiatan pendidikan di luar mata pelajaran sebagai bagian integral dari kurikulum sekolah/madrasah. Kegiatan pengembangan diri merupakan upaya pembentukan watak dan kepribadian peserta didik yang dilakukan melalui kegiatan pelayanan konseling berkenaan dengan masalah pribadi dan kehidupan sosial, kegiatan belajar, dan pengembangan karir, serta kegiatan ekstra kurikuler. Di samping itu, untuk satuan pendidikan kejuruan, kegiatan pengembangan diri, khususnya pelayanan konseling ditujukan guna pengembangan kreativitas dan karir. Untuk satuan pendidikan khusus, pelayanan konseling menekankan peningkatan kecakapan hidup sesuai dengan kebutuhan khusus peserta didik. Dalam pengembangan diri diperlukan potensi, bakat dan minat anak yang berbeda-beda antara satu dengan yang lain. Dan tujuan dari pengembangan diri ini adalah untuk mengembangan ketiga komponen tersebut agar menjadi satu keahlian atau kemampuan yang unggul.
Perbedaan keduanya terletak pada: tujuan dan pelaksanaannya. Jika muatan lokal bertujuan untuk mengembangkan potensi daerah dan pelaksanaan kegiatannya disesuaikan dengan potensi daerah mereka, sedangkan pengembangan diri bertujuan untuk mengambangkan potensi, minat dan bakat dari peserta didik dan pelaksanaanya dapat dilakukan di luar jam efektif.
Pengembangannya adalah (1) muatan lokal dikembangkan dengan di dasarkan potensi daerah masing-masing, misalnya di daerah Besole Campur Darat, mereka memiliki potensi batu marmer. Maka muatan lokal dapat dikembangkan dengan memberikan pelajaran berupa seni untuk membuat kerajinan dari batu marmer tersebut, (2) pengembangan diri dikembangkan melalui kegiatan ekstrakurikuler, misalnya seorang peserta didik memiliki bakat untuk bernyanyi, maka dia bisa mengikuti kegiatan seni musik.

0 komentar:

Posting Komentar