1. Kurikulum dikatakan sebagai “the heart/core of education” (jantung pendidikan) karena corak dan
arah pendidikan bisa dilihat dengan kurikulum tersebut. Bahkan kurikulum menentukan
berhasil tidaknya tujuan dari pendidikan. Dengan berdasarkan kurikulum sebagai
acuan pelaksanaan kegiatan dalam sebuah lembaga pendidikan maka proses
pendidikan akan berjalan sesuai kurikulum tersebut. Kemudian peranan guru dalam
pengembangan kurikulum adalah guru sebagai penjabar atau penjelas dan pelaksana
dalam pembelajaran baik dalam hal isi, metode maupun evaluasi. Guru berperan
sebagai penyampai informasi atau sebagai model dan ahli dalam disiplin ilmu.
Jika dikaitkan dengan kurikulum KTSP, maka peran guru adalah memahami KTSP dan
melaksanakannya, menganalisis SK/KD dan komponen silabus maupun RPP, menyusun
prota dan promes, mengembangkan visi dan misi.
2. Ada beberapa pendekatan dalam kurikulum, diantaranya
adalah
a. Pendekatan subyek akademis
Dalam
menyusun kurikulum maka didasarkan pada sistematisasi disiplin ilmu
masing-masing dan dilakukan dengan cara menetapkan lebih dahulu mata
pelajaran/mata kuliah apa yang harus dipelajari peserta didik, yang diperlukan
untuk (persiapan) pengembangan disiplin ilmu. Akan tetapi dalam pengembangannya harus memperhatikan kaitan antara
aspek disiplim ilmu satu dengan yang lainnya.
b. Pendekatan humanistis
Pendekatan ini berawal dari ide memanusiakan manusia
yang berarti usaha memberi kesempatan kepada peserta didik untuk mengembangkan
alat-alat potensialnya seoptimal mungkin untuk dapat difungsikan sebagai sarana
bagi pemecahan masalah-masalah hidup dan kehidupan, pengembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi serta budaya manusia, dan pengembangan sikap iman dan
takwa kepada Allah swt. Selain itu, pengertian memanusiakan manusia dalam
perspektif pendidikan Islam berarti:
1) Usaha memberi kesempatan kepada peserta didik untuk
mengembangkan alat-alat potensial dan berbagai potensi dasar atau fitrahnya
seoptimal mungkin untuk dapat difungsikan sebagai sarana bagi pemecahan masalah-masalah
hidup dan kehidupan, pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta budaya
manusia, dan pengembangan sikap iman dan takwa kepada Allah swt.
2) Menumbuh kembangkan sebagian sifat-sifat
ketuhanan (potensi/fitrah) itu secara terpadu dan diaktualkan dalam kehidupan
sehari-hari, baik dalam kehidupan individu maupun sosialnya.
3) Membimbing dan mengarahkan manusia agar
mampu mengemban amanah dari Allah, yaitu menjalankan tugas-tugas hidupnya di
muka bumi, baik sebagai ‘adullah
(hamba Allah yang harus tunduk dan taat terhadap segala aturan dan kehendakNya
serta mengabdi hanya kepadaNya) maupun sebagai khalifah Allah di muka bumi,
yang menyangkut pelaksanaan tugas kekhalifahan, baik terhadap diri sendiri,
dalam keluarga/rumah tangga, masyarakat, maupun tugas kekhalifahan terhadap
alam.
c. Pendekatan teknologis
Pendekatan ini dalam menyusun kurikulum atau program
pendidikan bertolak dari analisis kompetensi yang dibutuhkan untuk melaksanakan
tugas-tugas tertentu. Materi yang diajarkan, kriteria evaluasi sukses, dan
strategi belajarnya ditetapkan sesuai dengan analisis tugas (job analysis) tersebut.
d. Pendekatan rekonstruksi sosial
Pendekatan
rekonstruksi sosial dalam menyusun kurikulum atau program pendidikan keahlian
bertolak dari problem yang dihadapi dalam masyarakat, untuk selanjutnya dengan
memerankan ilmu-ilmu dan teknologi, serta bekerja secara kooperatif dan
kolaboratif, akan dicarikan upaya pemecahannya menuju pembentukan masyarakat
yang lebih baik. Pendekatan ini
selain menekankan isi pembelajaran atau pendidikan juga sekaligus menekankan
pada proses pendidikan dan pengalaman belajar. Pendekatan ini juga berasumsi
bahwa manusia adalah sebagai makhluk sosial yang dalam kehidupannya selalu
membutuhkan manusia lain, selalu hidup besama, berinteraksi dan bekerjasama.
Melalui kehidupan bersama dan kerjasama itulah manusia dapat hidup dan
memecahkan berbagai masalah yang dihadapi. Tugas pendidikan terutama membantu
agar peserta didik menjadi cakap dan selanjutnya mampu ikut bertanggungjawab
terhadap pengembangan masyarakat.
Dari keempat
pendekatan tersebut, kami akan menjelaskan 2 pendekatan yaitu: pendekatan subyek
akademis dan pendekatan humanistis untuk mengembangkan kurikulum pendidikan
agama Islam.
a.
Pengembangan kurikulum pendidikan agama Islam melalui pendekatan subyek
akademis dilakukan dengan berdasarkan sistematisasi disiplin ilmu. Misalnya,
untuk aspek keimanan atau mata pelajaran akidah menggunakan sistematisasi ilmu
tauhid, aspek/mata pelajaran al-Qur’an menggunakan sistematisasi ilmu al-Qur’an
atau ilmu tafsir, akhlak menggunakan sistematisasi ilmu akhlak,
ibadah/syari’ah/muamalah menggunakan sistematisasi ilmu fiqih, dan
tarikh/sejarah menggunakan sistematisasi ilmu sejarah (kebudayaan) Islam.
Masing-masing aspek/mata pelajaran tersebut memiliki karakteristik tersendiri,
yang dapat dipergunakan untuk pengembangan disiplin ilmu lebih lanjut bagi para
peserta didik yang memiliki minat di bidangnya. Namun, demikian dalam
pembiaannya harus memperhatikan kaitan antara aspek/mata pelajaran yang satu
dengan yang lainnya.
b.
Pengembangan kurikulum pendidikan agama Islam melalui pendekatan
humanistis dilakukan oleh guru/dosen dengan melibatkan peserta didik, misalnya
dalam penentuan tujuan dan pemilihan tema-tema pembelajaran PAI. Isi dan proses
pembelajarannya bersifat dinamis (berubah) sesuai minat, kebutuhan dan
kontekstual. Pengembangan kurikulum PAI dengan pendekatan ini lebih cocok
diterapkan dalam mengamalkan nilai-nilai akidah dan akhlak Islam serta
problem-problem yang aktual di masyarakat.
3. Ada beberapa kritik yang ditujukan kepada PAI di
sekolah umum.
a. Penjelasan kritik tersebut telah disebutkan beberapa
ahli yaitu:
1) Menurut Mochtar Buchori menilai pendidikan Islam masih
gagal. Hal ini disebabkan karena praktiknya hanya memperhatikan aspek kognitif
semata dari pertumbuhan kesadaran nilai-nilai (agama), dan mengabaikan
pembinaan aspek afektif dan konotatif-volitif, yakni kemauan dan tekad untuk
mengamalkan nilai-nilai ajaran agama. Yang pada akhirnya pendidikan agama
menjadi pengajaran agama.
2) Menteri agama RI, Muhammad Mahtuh
Basyuni menyatakan bahwa pendidikan agama yang berlangsung saat ini cenderung
lebih mengedepankan aspek kognisi (pemikiran) daripada afeksi (rasa) dan
psikomotorik (tingkah laku).
3) Menurut Komaruddin Hidayat, pendidikan
agama lebih berorientasi pada belajar tentang agama, sehingga hasilnya banyak
orang yang mengetahui nilai-nilai ajaran agama, tetapi perilakunya tidak
relevan dengan nilai-nilai agama yang diketahuinya.
4) Menurut Amin Abdullah, pendidikan agama lebih banyak
terkonsentrasi pada persoalan-persoalan teoritis keagamaan yang bersifat
kognitif, dan kurang concern terhadap
persoalan bagaimana mengubah pengetahuan agama yang kognitif menjadi makna dan
nilai yang perlu diinternalisasikan dalam diri peserta didik lewat berbagai
cara, media, dan forum.
5) Menurut Soejatmoko, pendidikan agama harus berusaha
berintegrasi dan bersinkronisasi dengan pendidikan non-agama dan masih banyak
lagi pendapat lainnya.
b. Jika saya diminta untuk menjadi konsultan terhadap
kritik di atas, maka saya akan memberikan beberapa saran untuk:
1) Kepala sekolah adalah (1) meninjau
kembali praktek pengajaran pendidikan agama Islam dalam lembaga tersebut, (2)
Mencoba memadukan kurikulum pendidikan agama dengan pendidikan non-agama yang
dipelopori oleh kepala sekolah, (3) memberikan waktu tambahan terhadap
pelajaran agama Islam agar nilai dan hakekat pendidikan Islam dapat terserap
secara optimal, (4) karena kita menjalankan KTSP maka kita arahkan
kompetensinya kea rah pendidikan agama yang akan menjadi landasan dasar dari
mata pelajaran lainnya.
2) Untuk para guru di sekolah adalah (1)
bekerjasa dengan guru non agama untuk sama-sama berusaha mengajarkan pendidikan
moral yang merupakan bagian dari pendidikan agama, (2) dalam pengembangan diri
akan kita tekankan pada pembinaan nilai-nilai pendidikan agama Islam, (3)
memberikan metode yang sesuai agar pendidikan Islam berjalan untuk mencapai
tujuan baik secara kognitif, afektif maupun psikomotorik.
4. Pengembangan diri merupakan suatu kegiatan di luar jam
pelajaran/regular yang berupa kegiatan ekstrakurikuler berupa pramuka,
olahraga, PMR, seni musik, seni tari dan lainnya. Biasanya untuk mengikuti
pengembangan diri ini, di sekolah atau madrasah telah ada seorang guru
bimbingan konseling yang dapat membantu peserta didik memahami potensi, minat
dan bakat yang sesuai dengan kegiatan pengembangan diri tersebut. Jikan
pendidikan agama Islam diiplementasikan melalui kegiatan pengembangan diri,
maka hal yang bisa dilakukan adalah: memberikan kegiatan pengembangan diri yang
bersifat islami yang dapat menerapkan nilai-nilai Islam secara praktis.
Misalnya saja, qira’ah, membaca Kitab Kuning, qasidahan, kaligrafi, dakwah dan
sebagainya. Kegiatan-kegiatan tersebut merupakan kegiatan aplikasi dari
pendidikan agama Islam.
5. Memang kita ketahui bahwa pendidikan agama Islam di
sekolah hanya diberi alokasi waktu 2 jam pelajaran. Untuk menciptakan budaya
religius di sekolah, maka diawali dengan membuat desain kurikulumnya terlebih
dahulu. Tahap ini meliputi: perencanaan kurikulum yang akan menjadi acuan yang
meliputi: pembelajaran PAI yang lebih menekankan pada penerapan nilai religius
dan hal ini sesuai dengan pancasila sila pertama yaitu “Ketuhanan Yang Maha
Esa”.
Tahap
selanjutnya adalah pelaksanaan budaya religius. Sebenarnya penciptaan budaya
religius berarti menciptakan suasana atau iklim kehidupan keagamaan. Dalam
konteks pendidikan, maka budaya religius memiliki dua sifat yaitu: secara
vertikal dan horizontal. Secara vertical akan terlihat ketika melaksanakan
kegiatan sholat berjamaah, puasa senin kamis, berdoa setiap sebelum/sesudah
kegiatan, loyalitas, komitmen. Secara horizontal dilihat ketika hubungan antara
atasan dan bawahan, hubungan professional, hubungan kerjasama dengan teman
sejawat. Dengan penjelasan di atas, maka untuk melaksanakan budaya religius harus
dibangun secara bersama-sama oleh seluruh warga dari sebuah lembaga pendidikan.
Tahap evaluasi adalah kita menilai setiap
program atau tahapan yang akan/sudah dilaksanakan. Jika ditemukan hal-hal yang
menjadi hambatan atau permasalahan, maka diadakan evaluasi untuk memecahkan
permasalahan tersebut.
6. Muatan lokal adalah seperangkat rencana
dan pengaturan mengenai isi dan bahan pelajaran yang ditetapkan oleh daerah
sesuai dengan keadaan dan kebutuhan daerah masing-masing serta cara yang digunakan
sebagai pedoman penyelanggaraan kegiatan belajar mengajar. Kurikulum muatan lokal merupakan upaya penyelenggaraan
pendidikan yang mana isinya disesuaikan dengan keadaan, potensi dan kebutuhan
daerah setempat. Pelaksanaannya dimaksudkan untuk mempertahankan kelestarian
kebudayaan daerah, usaha pembaharuan serta untuk mengembangkan sumber daya
manusia yang ada di daerah itu sehingga dapat dimanfaatkan untuk kepentingan
pembangunan daerah.
Sedangkan
pengembangan diri merupakan
kegiatan pendidikan di luar mata pelajaran sebagai bagian integral dari
kurikulum sekolah/madrasah. Kegiatan pengembangan diri merupakan upaya pembentukan watak dan kepribadian peserta
didik yang dilakukan melalui kegiatan
pelayanan konseling berkenaan dengan masalah pribadi dan kehidupan sosial,
kegiatan belajar, dan pengembangan karir, serta kegiatan ekstra kurikuler. Di
samping itu, untuk satuan pendidikan kejuruan, kegiatan pengembangan diri,
khususnya pelayanan konseling ditujukan guna pengembangan kreativitas dan
karir. Untuk satuan pendidikan khusus, pelayanan konseling menekankan
peningkatan kecakapan hidup sesuai dengan kebutuhan khusus peserta didik. Dalam
pengembangan diri diperlukan potensi, bakat dan minat anak yang berbeda-beda
antara satu dengan yang lain. Dan tujuan dari pengembangan diri ini adalah
untuk mengembangan ketiga komponen tersebut agar menjadi satu keahlian atau
kemampuan yang unggul.
Perbedaan keduanya terletak pada: tujuan dan pelaksanaannya.
Jika muatan lokal bertujuan untuk mengembangkan potensi daerah dan pelaksanaan
kegiatannya disesuaikan dengan potensi daerah mereka, sedangkan pengembangan
diri bertujuan untuk mengambangkan potensi, minat dan bakat dari peserta didik
dan pelaksanaanya dapat dilakukan di luar jam efektif.
Pengembangannya adalah (1)
muatan lokal dikembangkan dengan di dasarkan potensi daerah masing-masing,
misalnya di daerah Besole Campur Darat, mereka memiliki potensi batu marmer.
Maka muatan lokal dapat dikembangkan dengan memberikan pelajaran berupa seni
untuk membuat kerajinan dari batu marmer tersebut, (2) pengembangan diri
dikembangkan melalui kegiatan ekstrakurikuler, misalnya seorang peserta didik
memiliki bakat untuk bernyanyi, maka dia bisa mengikuti kegiatan seni musik.
0 komentar:
Posting Komentar